leuserlestari.com-Tahun 2012 lalu,
tepatnya tanggal 28 November, sebuah resolusi yang cukup berat diambil di
Persatuan Bangsa-Bangsa. Mereka menetapkan tanggal 21 Maret sebagai Hari Hutan
Sedunia. Menurut data FAO, setiap tahunnya 13 juta hektar (setara dengan luas Negara
inggris) lahan hutan menghilang dari muka bumi. Pertumbuhan penduduk yang tak
lagi terkontrol, disertai deforestari hutan, memberikan sebuah kenyataan pahit,
kiamat semakin dekat!
Beberapa hari,
sebelum Hari Hutan Sedunia,
“Yud, dulu, tahun 1980an, sepanjang sungai Alas
yang ada di Ketambe, kalau kita naik boat karet bisa melihat gajah, orangutan
atau satwa-satwa endemic lainnya lagi main-main di sepanjang pinggir sungai.
Hutannya masih lebat, suara burung pun masih terdengar jelas” di sebuah ruangan tak besar, ia bercerita
mengenai keindahan hutan yang berada di kabupaten Aceh Tenggara tempat suaminya
berasal. Pun, Ia pernah melakukan penelitian di sana kala masih mahasiswa.
Saya, sebenarnya tak
terlalu paham mengenai keindahan hutan. Bagi saya, laut, pulau gosong, ataupun
warna-warni terumbu karang, adalah sebuah keindahan yang tiada tara. Ini, hutan? Halah.
Pacat dimana-mana, belum lagi ulat bulu. Hewan buas, ular, dan entah apa lagi.
Hutan, menurut saya tak lebih hanya sekelompok pohon rimbun yang tumbuh lebat
tanpa pernah saya tahu, di mana letak keindahannya.
Tapi, sepintas,
cerita kak Cut, membuat saya membayangkan tentang film Jurassic Park. Yang didalamnya
ada satu scene yang luar biasa. Hewan-hewan besar itu berjejer rapi di tepian
sungai hendak minum. Lalu, para pengunjung bisa melihatnya secara langsung. Dan,
itu Keren!
Sampai di sini, saya
mulai penasaran. Seindah apakah hutan Leuser yang ada di Ketambe, Aceh Tenggara
itu. Kini, sudah tahun 2017. Tentu sudah jauh berbeda dengan apa yang
diceritakan oleh kak Cut kepada saya di suatu sore.
Tanpa segan, saya
mengajukan surat ijin untuk melakukan perjalanan yang cukup jauh. Banda Aceh-Ketambe
itu berjarak kurang lebih selama 16 jam perjalanan darat. Dengan medan jalan
yang cukup menantang. Sembari dalam hati terus berdoa. Jangan longsor.
Tak banyak yang tahu,
kalau Ketambe, adalah sebagai Pusat Riset Orangutan Tertua di Dunia! Pun saya
baru tahu tatkala hendak menuju ke tempat tersebut. Tahun 1971 seorang peneliti
kebangsaan Belanda Herman D,Rijksen yang bekerja untuk Universitas Wagening
yang didanai oleh WWF Belanda dan mendirikan Stasiun Penelitian Ketambe, di
Desa Balai Lutu, kecamatan Badar, Kabupaten Aceh Tenggara
Betapa, Leuser ini
begitu berharga di mata dunia pikir saya dalam hati. Hutannya adalah hutan yang
merupakan warisan dunia. Kini,
stasiun risetnya adalah yang tertua di dunia. Tak terbayangkan, apa jadinya
bila dunia tak lagi memiliki leuser sebagai salah satu assetnya.
Hujan turun cukup deras. Suasana yang sedari
kemarin siang panas akhirnya menjadi sejuk seketika. Bau tanah menyeruak
memenuhi seisi desa dan hutan yang berada tepat di sisi utara desa. Saya duduk
termenung di sudut warung kopi Wisma Cinta Alam. Menikmati segala yang sedang
terjadi. Seolah terlempar kembali ke masa – masa ketika kota Banda Aceh, masih
memiliki lahan terbuka yang cukup luas.
“Wah, kedatangan kamu ke sini ternyata disambut baik dengan alam ya Yud” Bang Johan, pria yang bertubuh sedikit tambun ini membuyarkan lamunan
masa kecil saya. Ia adalah pemilik wisma tempat di mana saya akan menginap untuk beberapa hari ke depan. Sesaat lalu, saya sebenarnya tengah menghibur diri. Maklum saja, ini
adalah kali pertama saya masuk hutan. Mengerti pun tidak apa indahnya hutan.
Selain, pepohonan yang rindang, bebatuan yang berlumut, dan sungai. Sudah,
hanya itu yang ada dalam bayangan saya.
“Biasanya,
kalau sehabis hujan, kamu akan lebih mudah ketemu orangutan. Tapi hati-hati, jalur
trackingnya juga akan licin karena basah kan ya?” Benarkah?
Serasa tak percaya. Mendengar kata-kata orangutan membuat saya segera bangkit.
Sepertinya hujan akan berhenti sesaat lagi. Saya tak ingin terlambat, siang
akan segera naik. Dan, menurut beberapa informasi yang saya terima, bila siang,
orangutan akan tidur siang. What? Orangutan tidur siang?
Hutan berhenti, semesta
seolah mendukung untuk saya melakukan perjalanan mengarungi sisi hutan untuk
beberapa jam ke depan. Dan, saya baru sadar, kalau sepatu yang saya kenakan tak
cocok untuk berjalan di permukaan hutan yang licin. Ini sepatu memang lebih
cocok untuk masuk kantor, tapi nasi sudah jadi bubur. Maju atau menyesal
selamanya.
“Grook…Groook..Groook” Saya terkepak! Suara bak orang ngorok yang
begitu besar terdengar tak sengaja sesaat setelah saya menjejakkan kaki di
dalam kawasan hutan. Sosok hitam pekat, berbulu kasar, berdiri menatap tajam ke
arah saya. gigi taringnya keluar. Seolah ia siap menerkam. Saya hanya bisa
berdiri diam tak berani berbuat apa-apa. Untuk pertama kalinya, sosok makhluk
itu membuat saya mematung.
“Bang, udah tidak apa-apa. Itu hanya babi hutan. Hush...hush..” Rajab,
guide yang menemani saya bicara dengan santai lalu mengusir binatang hitam
legam itu. Babi hutan itu pun lari tunggang langgang. Sial! Babi hutan
ternyata. Tapi mengapa besar sekali?
Tokek terbang |
Kaki saya berjalan
semakin jauh ke dalam hutan. Beberapa serangga hutan mulai terlihat, pepohonan
besar nan rindang mulai memanyungi jalan setapak. Kenopi hutan terlihat begitu
lebat. Tak lama, saya kembali terperanjat. Bersiap mengarahkan kamera prosumer.
Berlomba-lomba zoom in dengan gerak laju sebuah primata besar yang
bergelantungan di atas pohon. Hampir saja saya memekik kegirangan kalau tak
diingatkan oleh Rajab bahwa kalau berteriak hanya akan mengusik orangutan dan
satwa lainnya di dalam hutan.
Iya, saya akhirnya
ketemu orangutan Sumatra untuk pertama kalinya. Kali ini bukan di kebun
binatang, bukan pula di siaran televisi BBC ataupun National Geographic. Tapi
langsung di hutan! Pun bukan di pusat penangkaran. Ah, saya terkesima tanpa
henti.
![]() |
Taraaa... inilah dia |
Terlintas rasa bangga
dalam hati sekaligus malu. Bangga karena Aceh, kampong halaman tempat saya
dilahirkan memiliki sesuatu yang begitu hebat. Malu, karena sudah banyak orang
dari luar negeri ke tempat ini sejak era penjajahan Belanda. Untuk meneliti dan
menikmati keindahan hutan Ketambe ini, sedangkan saya? baru kali ini. Biarkan saja,
dari pada tidak sama sekali, iya kan?
Betapa beruntungnya
kak Cut dan suaminya, bisa menyaksikan keajaiban hutan Ketambe di masa-masa
hutan ini masih begitu lebat dan tak ada perambahan. Betapa beruntungnya para Bule yang sedari tahun delapan puluhan
telah menjadikan Ketambe sebagai salah satu tujuan destinasi wisatanya.
![]() |
Hutan dalam pusat riset ketambe, di lihat dari seberang jalan. |
Sembari terus
berjalan menyisiri hutan, sesekali hati kecil ini berteriak, ingin sekali saya
marah kepada keadaan hutan yang kini mulai dimakan oleh keserakahan manusia. Kebun-kebun
jagung mulai merengsek masuk ke dalam kawasan.
Saya takut, kalut,
galau, ketika harus membayangkan 10 tahun lagi, tatkala kedua anak saya, Ziyad dan
Bilqis tumbuh besar nanti, mereka tak lagi bisa menikmati keajaiban dari hutan
ketambe seperti yang saya saksikan saat ini. Karena semuanya telah hilang dan punah.
Lalu, setiap 21 Maret, hanya sekedar menjadi sebuah seremoni tanpa pernah bisa
mengerti betapa indahnya hutan itu sendiri.[YR]
Iri hati, saya melihat gambar dan cerita ketambe...
ReplyDeleteKalau saya turuti, bisa-bisa Galau bak ditinggal cewek..
hahahaha ayo ke leuser Bang Pujiaman
DeleteDari dulu ingin sekali bisa berkunjung ke TN Leuser. Padahal ada kemungkinan saat tinggal di sana 4 tahun. Mudah2an ada rejeki bisa mampir satu saat :)
ReplyDeleteAmien.. bisa pasti Saudara kelilinglampung :)
DeleteTeruslah cantik Leuser, teruslah lestari...
ReplyDeleteMudah-mudahan bisa menginjakkan kaki di tempat terindah ini suatu saat nanti...
Amien.. terima kasih atas doanya. mohon bantuannya juga untuk terus mengkampanyekan ide lingkungan untuk masa kini dan masa depan
Delete