Ded, kau bisa Diam? Hargailah tetua kampung yang sedang bicara ini!
Sayang, saya hanya bisa menggertaknya dalam hati. Padahal, saya sedang berusaha mendengarkan Haji Zainun Abidin yang tengah bercerita tentang kearifan lokal desanya tentang Harimau. Hiruk pikuk suasana kampung yang ramai menjelang pesta kawinan sudah cukup membuat saya pusing, belum lagi harus menterjemahkan bahasa daerah aneuk jamee, ditambah ocehan Dedi,--guide wisata desan Panton Luas--bak orang lapar tanpa jeda.
Setiap kali konsetrasi saya buyar, setiap itu pula saya merubah posisi duduk sambil sesekali menyeruput teh hangat. Pak Haji ini sudah cukup tua, bahasa indonesianya juga putus-putus, tapi bicara soal kampungnya? Dia paling semangat!
jalan menuju ke desa Panton Luas
Tiba-tiba saja dia berdiri, lalu mempratekkan apa yang ia ceritakan! Sesaat kemudian ia sudah duduk kembali sembari berbicara bisik-bisik ditelinga saya. Bukan, bukan karena saya sulit mendengar, tapi Pak Haji yang berkacamata tebal ini, membisikkan mantra untuk memanggil harimau!
Saya hanya bisa terperanjat ketika ia memulai menceritakan berbagai hal yang berhubungan dengan harimau. Iya, Harimau Sumatra alias Panthera Tigris Sumatrae. Salah satu satwa kunci di hutan Aceh yang mulai terancam punah ini, menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah perjalanan kampong yang berada di atas gunung kawasan kabupaten Aceh selatan.
“Nenek dia, dulu suka memberikan makan nasi kepada harimau di sini. harimaunya ada namanya. Setiap kali si Minah (nama harimau tersebut) mau ke daerah trumon, dia pasti akan mampir ke desa ini” cerita pak Zainun dengan bahasa Indonesia yang bercampur dengan bahasa Aneuk Jamee yang begitu mirip dengan bahasa Padang.
katanya, ini salah satu "telepon Harimau" tersebut
Dihadapan pak Zainun, ada bang Masrita yang duduk sembari tersenyum-senyum. Seolah ia begitu bangga menjadi cucu dari seorang kakek yang berprofesi sebagai “Sahabat Harimau”.
Harimau Sebagai Penolong!
Cerita semakin menarik. Bang Masrita, mengatakan kalau setiap kali ada harimau yang terluka, dahulu masyarkat desa Panton Luas, kecamatan Tapaktuan, Kabupaten Aceh Selatan ini akan berusaha sekuat mungkin untuk memanggil Panthera tigris sumatrae, lalu mengobatinya.
“Loh? Kok? Biasanya masyarakat itu tidak mau berurusan dengan harimau, kalau bisa setelah ditangkap, harimau itu di evakuasi. Bahkan dibeberapa kasus ekstrim malah diburu rame-rame!” saya mengejar bang Masrita dengan pertanyaan. Saya masih berharap kalau cerita ini hanya dongeng saja. Tak mungkin menjadi nyata.
Jikalau engkau ada waktu, silahkan cari di search engine tentang harimau yang selalu menjadi biang kerok dari masalah di sebuah desa yang berbatasan dengan pinggiran hutan. Yang menerkam warga-lah, yang menerkam ternak-lah, yang menciptakan terror-lah, dan entah apalagi. Intinya hanya satu, hewan liar nan buas ini adalah biang keladinya!
perangkap harimau di kawasan Hutan Aceh Selatan
“semua harimau yang ada di desa ini, tetap harus di sini. Dia itu adalah penolong kami.” Pria bertubuh gagah ini menjelaskan dengan suara yang cukup lembut. Berulang kali saya harus berusaha mendekatkan telinga ke mulutnya. Percayalah, terkadang kegarangan muka tak sebanding dengan kelembutan nada suara. #halah
“jika ada masyarakat desa yang tersesat di hutan, Harimau yang menjadi penunjuk jalan. Dulu, paman saya, pernah ditolong olehnya. Dia arahkan paman saya menuju kampong ini lagi.” Bang Masrita memperjelas apa yang dimaksud sebagai penolong.
Sungguh! Apa yang saya dengar hari itu adalah sesuatu yang luar biasa. Masyarakat desa Panton Luas tak memusuhi harimau akan tetapi justru sebaliknya. Mereka malah menganggap harimau sebagai Penolong. Percaya tidak percaya, tapi tatkala saya menanyakan kepada beberapa penduduk setempat, serempak, mereka mengatakan hal yang sama.
Kamu, kapan ke sini?
Bagi mereka, Harimau bukan hanya sekedar keperkasaan hutan, akan tetapi harimau adalah satwa yang harus mereka lindungi. Mereka percaya, tatkala kita membantu alam, maka alam akan membantu mereka. Minimal, sebagai petunjuk jalan ketika tersesat di hutan.
Panton Luas, desa yang cukup pelosok dan tak bersinyal telepon genggam ini, mungkin tak paham teori konservasi, biodiversity atau apapun istilah dalam dunia lingkungan. Akan tetapi, jauh dari teori itu semuanya, mereka sudah berusaha menjadi sahabat bagi alam. Tidak seperti saya yang jauh berada di tengah kota, seolah ini semua mematahkan teori advokasi konservasi dari mereka yang hanya duduk rapat di balai desa.
burung Rangkong, salah satu satwa yang dilindungi oleh Negara
Burung-burung Rangkong yang menari dengan kekasihnya, seolah mengejek saya yang sendiri menatap kedih yang tengah jatuh cinta. Pohon-pohon besar yang berfungsi sebagai kanopi hutan, air sungai yang sejuk berusaha mendinginkan hati ini yang sedari kemarin kesal dengan ribuan hektar sawit memperkosa lahan gambut.
“Yudi, tahu nggak, kalau hutan itu ibarat mobil, tak ada lampu sign kanan, mobil itu tetap bisa jalan. Tapi bila hendak berbelok kanan, lampu tak nyala apa yang akan terjadi? Kalau bukan kita ditabrak oleh pengendara lain, maka kitalah yang akan menimbulkan kecelakaan bagi orang lain yang ada di depan ataupun di belakang kita. Begitupun dengan hutan, tak ada harimau hutan tetaplah hutan. Tapi sesuatu akan terjadi. Semisalnya over populasi babi hutan, rusa, ataupun binatang mamalia lainnya. Yang sudah pasti efeknya akan tidak baik bagi hutan itu sendiri dan nanti tentu akan berefek juga ke kita, manusia.”
pintu gerbang alam desan Panton Luas
Akhirnya saya paham, maksud dari cerita bang Tarmizi yang bekerja di lembaga WCS (Wildlife Conservation Society) saat berdiskusi di sudut warung kopi kala malam mulai memeluk kota legenda Naga ini. Ada begitu banyak yang ingin saya ceritakan. Harimau, gajah, orangutan, badak, rangkong, sampai Thomas leaf monkey yang suka mengintip saya buang air kecil. Mereka, semuanya memiliki peran masing-masing dalam setiap ulir-ulir rotan yang bergantung di langit-langit hutan.
alam di desa Panton Luas, Aceh Selatan
sulur-sulur yang begitu luar biasa
Panton Luas, Aceh selatan, menjadi sebuah pecut bagi saya. menghantam saya sampai ke relung hati. Kebencian akan harimau ternyata selama ini sudah salah kaprah. Seperti engkau salah kaprah saat mengatakan kalau saya ini keren..
By : Yudi Randa
Baca tulisan ini, jadi teringat pulang kampung dan bisa nulis kayak bg Yudi juga tentang kampuang ambo yang rancak dipandang mato. :)
ReplyDeleteiyaa makanya, saatnya menulis kampung halamanmu Yel
Deleteaseeem laah, cuma bisa jadi penonton, smbil terus bergerak menata hati yg galau liat pemandangan kampong Panton Luas, Aceh Selatan.
ReplyDeleteJadi pengen ke sana...
ReplyDelete