Apapun ceritanya, hutan tetap
menjadi momok bagi saya yang anak kota tapi sok cinta hutan. Mulai dari pacat
lah, takut ular yang merayap di dasar hutan sampai dedaunan yang bikin kulit sensitif
saya bisa alergi berminggu-minggu. Drama belum usai! Fisik yang
ringkih dan pesakitan menjadi salah satu kendala dalam tracking ke hutan. Belum
lagi kalau bicara soal kostum. Celana lebaran lalu, sudah menjadi korban.
Seolah tak kunjung selesai, tapi
nasib lagi lagi menarik saya ke hutan. Senin pagi 11 Juli 2017, masih tersisa nikmatnya
udara pagi di kota Tapaktuan, Aceh Selatan. Mendung syahdu, udara yang segar, dan debur
ombak yang bersimponi di gendang telinga. Membuat saya lupa, bila umur tak lagi
belia. Hal itu pula yang menjadikan saya malas beranjak menuju ke tempat
lainnya. Apa tidak bisa di sini saja?
"Ini momen langka Yud..nggak semua orang bisa ikut dalam hal
seperti ini. Dan, yudi harus tahu tentang lika likunya" Ini yang
kesekian kalinya bang Zulfan, partner perjalanan kali ini, menegaskan hal tersebut. Dan kesekian kalinya pula saya
meragu untuk melangkah.
Di satu sisi, perjalanan ini
seharusnya menuju ke Aceh Singkil, tepatnya kawasan Suaka Margasatwa Rawa Singkil.
Tak ada tempat di Aceh ini yang berhasil membuat saya merengek rengek ke
beberapa teman agar bisa diajak ke sana.
"Ayolah bang Yud, nggak jauh kok. Dekat sama jalan raya kok..
masuknya juga nggak jauh-jauh amat." Alpin, seolah se-ide dengan bang
Zulfan. Pria bertubuh bongsor dan berlogat sumatra utara ini, memang sudah
cukup sering memberikan info mngenai evakuasi orangutan sumatra yang berada
dalam.kawasan selatan Aceh.
mengecek senjata bius |
Saatnya Mengejar Orangutan!
Yups, saya diajak untuk ikut
serta dalam melakukan evakuasi Orangutan Sumatra!
Saya GEGANA, Gelisah Galau
merana. Orangutan Sumatra, hewan endemik pulau Sumatra bagian utara ini memang
dalam keadaan yang cukup mengkhawatirkan. Walaupun sebenarnya, saya lebih
mengkhawatirkan orang-orang seperti saya ini. Lahir dan besar di kota, tapi
sibuk minta masuk hutan. Sedangkan orangutan sibuk dibawa masuk ke kota. #eh...
Ini momen langka, tak banyak
orang yang bisa ikut serta untuk perihal begini. Pun, tak semua orang
beruntung. Hari itu, saya merasa kalau ini adalah hari keberuntungan saya. Hujan yang turun semalaman, berhasil membuat perjalanan ke Suaka Margasatwa
Rawa Singkil ditunda. Di sana, air sungai Singkil meluap
sejadi-jadinya. Sehingga sangat tidak aman bagi saya, si anak kota ini untuk
menuju ke hilir sungai tempat proses penelitian berlangsung.
Pun, hal tersebut juga membuat
pak Onrizal, seorang peneliti biota bawah air dari Universitas Sumatra Utara
yang menjadi narasumber saya untuk kegiatan di Rawa Singkil, ikutan melangkah
ke Bakongan, Aceh Selatan. Tahniah! Saya tak harus ke sana
terlebih dulu. Dan, saatnya bersiap masuk hutan lagi, horay…
Celana lebaran saya mulai
berlumuran lumpur. Hujan turun seolah tak tahu diri. Sandal gunung abal-abal milik saya,
mulai menunjukkan kualitasnya. Beberapa benang penyambung sandal mulai lekang. Tanah
yang saya pijak bergoyang-goyang. Hutan yang rimbun nan lebat ternyata sudah
tak ada lagi. Hampir sejauh mata memandang semuanya hanyalah kebun sawit warga.
Katanya masuk ke hutan? Saya masih membatin dalam hati.
mempersiapkan obat bius |
Mengingat tak banyak waktu untuk
mengkritisi keadaan. Hari mulai sore, si
orangutan telah menunggu untuk dibius lalu di relokasi. Derap langkah terus
menyusuri pinggiran “hutan sawit”. Sesekali kaki saya terjerumus ke
lubang bekas lahan gambut. Saya hanya bisa meringis. Inikah dunia
konservasi itu? Dunia yang bekerja untuk hajat hidup orang banyak, akan tetapi
seperti tak ter-ekspose
“Itu dia di sana… ini sudah tidak
boleh dibiarkan lagi! Kejar aja.. Bedu..ambil kayu, pukul-pukul ke pokok yang
besar itu!” bang Richo, ketua rombongan evakuasi sekaligus dokter hewan
memberikan aba-aba. Maklum saja, keadaan sudah menjelang magrib. Iya! Tak lama
lagi senja akan merekah di langit Bakongan. Sedangkan keadaan orangutan yang
terlihat kurus itu, tak mungkin dibiarkan terlalu lama di sini.
Team yang berjumlah lebih dari 6
orang ini mulai kesurupan. Senjata bius berkali-kali ditembakkan, tak jua
kena sasaran. Bila sesiang tadi kami semua diminta untuk diam, tenang dan
bersembunyi di semak-semak agar orangutan pindah ke pohon kayu yang lebih rendah.
Kini, kami semua mulai teriak-teriak. Bersaing menjadi tarzan yang salah
jurusan. Woaa....!
Pakaian yang tadinya basah
kuyup karena hujan, kini kering ditempa panas. Dahaga mulai menjalar
kekerongkongan. Namun demikian, saya bahagia hari itu. Bisa melihat apa yang
sebenarnya terjadi di hutan Aceh. Apa yang sebenarnya terjadi terhadap hewan endemic
Sumatra yang mulai “bermasalah” ini. Para pemuda dari Orangutan Information
Centre (OIC) sedari tadi berjibaku tanpa henti.
“Jaring… Ooi.. Mana Jaring…”
teriakan bang Richo dari dalam hutan, membuat kami semua menggila. Saya lari terbirit-birit
seperti dikejar babi hutan. Menenteng berbagai macam kamera, persis
seperti anak alay yang baru dapat mainan kamera baru. Orangutan berhasil mereka
bius. Dan, kini masalah yang lain muncul...
Orangutannya nyangkut di pohon!
Sebenarnya, saya paling panic. Tapi
saya yakin, mereka ini punya pengalaman dan cara untuk mengatasi hal tersebut. Salah
seorang dari team memanjat pohon tersebut. Perlahan tapi pasti, lalu akhirnya…
Buuuk..!
tarik yang kuat... |
Induk orangutan jatuh ke dalam jaring yang telah dibentang.
Tapi, anaknya tinggal. Kini, bukan hanya saya yang panic. Tapi seluruh team! Anak
orangutan yang diketahui baru berumur satu tahun ini, tak boleh jauh dari induknya. Bagaimana
tidak, hewan yang DNA-nya hampir 100% mirip dengan manusia ini, sangat
bergantung akan asupan gizi dari induknya sampai 7 tahun. Jadi, bisa
dipastikan, bila si dedek Orangutan ini tak ada ibunya, maka dia akan mati.
Banyak yang tak mengerti, bahwa,
salah satu yang membuat hutan itu sehat dan lebat serta beragam tumbuh-tumbuhan
adalah jasa orangutan. Setiap kali ia membuat sarang, maka cahaya matahari bisa
masuk sampai ke dasar hutan Hujan (ingat! Hujan Hujan biasanya memiliki
kerimbunan yang luar biasa. Sehingga membuat tumbuhan yang hidup di dasar hutan
sulit untuk mendapatkan sinar matahari). Dalam proses penyebaran bibit-bibit
tumbuhan hutan pun, jasa orangutan berperan cukup banyak. Dan pada akhirnya, ia
merupakan rantai makanan dari sebuah ekosistem hutan hujan Sumatra. Terutama Hutan
Leuser!
mereka harus berburu dengan waktu karena tak lama lagi orangutan akan sadar |
hutan sawit |
Azan magrib berkumandang. Orangutan
dan induknya berhasil dimasukkan ke sebuah kandang portable. Tentu, setelah sebelumnya
di cek kesehatan orangutan tersebut.
“Sebenarnya ini adalah cara
terakhir untuk memberikan kesempatan hidup yang lebih layak dan lama bagi
orangutan tersebut, Bang Yud” tutup pembicaraan sederhana saya dengan bang
Richo saat saya tanyakan apakah tak ada
cara lain untuk melindungi orangutan yang terisolasi di hutan-hutan warga.
Saya hanya mengangguk-angguk,
seolah seluruh tubuh ini mengiyakan apa yang diucapkan oleh Bang Richo. Konflik
manusia dengan hewan mamalia dari hutan Aceh ini sudah cukup tinggi. Dengan dievakuasi
pula, masyarakat yang telah mengubah hutan menjadi ladang dapat tetap berladang
tanpa harus menyakiti orangutan.
Ketika konflik dengan masyarakat
bisa dihindari, bukan hanya orangutan yang akan memiliki kesempatan untuk hidup
lebih baik, akan tetapi manusia itu juga akan merasakan dampat positif dari
kelesetarian hutan dan ekosistem didalamnya.
Tubuh ini sudah lusuh,selusuh-lusuhnya.
Celana lebaran sudah lecek, selecek-leceknya.
Perjalanan ini masih harus saya teruskan. Suaka margasatwa Rawa Singkil masih
menanti dengan manjanya. Kalau soal capek dan lelah, tak usah ditanya lagi. Tapi,
saya tersenyum bahagia. Seekor orangutan bersama anaknya, malam itu akan tidur
tenang di dalam kawasan taman Nasional. Semoga dia mimpi indah.
Rawa Singkil, here I come!
akhirnya, berhasil langsung di evakuasi dan di rilis |
By Yudi Randa
Travel Blogger Aceh
dulu aku taunya orang utan ada di tanjung puting dan begitu pernah nulis tentang orangutan buat lombanya dan ga menang, aku pun makin menggebu-gebu pengen lihat sendiri orang utan.
ReplyDeletekota tapaktuan ini apa masih dekat dengan takengon itu bang ?
kalau takengon itu, dia dilintas tengah aceh, sedangkan aceh selatan ada di lintas selatan. jaraknya cukup jauh. tapi kalau dari banda aceh, bisa milih ke aceh selatan atau dari medan bisa ke Aceh tenggara ada kawasan Ketambe tempat penelitian orang utan sumatra tertua di dunia
DeleteKota Tapaktuan itu, kampung aku Mas Deddy, ntar kalau kemari kita ajakin keliling kota Naga ini, dan lihat orangutan, hehehe
DeleteDuh, kasian orangutannya. Foto-fotonya menyentuh sekali, bikin hato terenyuh.
ReplyDeleteterima kasih kak Sulung :)
DeleteDimuliakanlah mereka yang bekerja untuk orang hutan tapi jarang terekspos. Jasa mereka sangat besar untuk kelestarian hutan yang jadi sumber kehidupan kita juga. Ikut senang juga seekor induk dan anaknya terselamatkan hari itu. Tapi kalau mereka Langsung dilepas ke hutan yang bukan tempat tinggal mereka aslinya, mereka juga butuh penyesuaian ya?
ReplyDeleteiya Mbak, mereka harus mencari lagi tempat tinggal baru dan sumber makanan baru.
DeleteNgebayangin jadi si anak orangutan, pasti sedih, panik, pasca induknya mendadak tak sadarkan diri, terjatuh di jaring dan "ditangkap". Untungnya mereka "ditangkap" oleh pihak yang benar.
ReplyDeleteSemoga bisa ngeliat orangutan di Aceh juga nanti, amin.
omnduut.com
amin.. semoga suatu hari bisa ke Aceh dan melihat langsung orangutan sumatra ya Mas
Delete