leuserlestari.com--Problematika hutan wisata ketambe
sepertinya tak akan pernah usai. Di satu sisi, masyarakat sekitar Hutan
Ketambe, yang merupakan bagian dari kawasan Ekosistem Leuser, memilih mencoba
mempertahankan keadaan hutan tetap lestari, disisi lain, perambahan hutan terus
terjadi.
Hutan yang semenjak puluhan tahun
lalu telah menjadi salah satu tujuan wisata konservasi dan wisata penelitian
orangutan, kini menjadi kritis. Alih fungsi hutan menjadi kebun masyarkat
seolah tak terbendung. Bahkan, menurut seorang turis yang berasal dari jerman,
tatkala tahun-tahun awal 2000 Ia ke ketambe, beberapa mamilia masih mudah
dijumpai. Tapi kini?
Orangutan, kambing gunung, dan
kendih (Thomas leaf monkey) menjadi factor pemicu para peneliti dan wisatawan
luar negeri mau menghabiskan banyak dana dan waktu untuk bisa ke kawasan hutan
yang berada di provinsi Aceh.
Kawasan Hutan Ketambe, setelah
meredup kala konflik Aceh melanda selama lebih 34 tahun, kini perlahan kembali
naik daun. Itu terjadi ketika Leonardo Di Caprio melakukan perjalanan wisata
singkatnya ke hutan yang berada di kabupaten Aceh Tenggara ini.
Sebenarnya, hutan ini, dapat
menjadi contoh sebuah konsep bisnis yang baik dan ramah terhadap konservasi. Dimana,
ia tetap menghasilkan pendapatan kepada masyarakat dan penyelenggara bisnis
tanpa harus merusak hutan. Tak tanggung-tanggung, bila memasuki musim buah,
maka bisa dipastikan seluruh penginapan di sepanjang jalan ketambe-Kutacane
akan penuh pengunjung.
Sebagian hutan memang terlihat
masih begitu asri, tapi disisi lain, hutan mulai berubah menjadi kebun jagung. Tetap
menghasilkan tapi merusak. Lalu, ketika para hewan predator mengejar mangsanya
sampai ke kebun masyarakat, konflik satwa dengan manusia pun tak terelakkan.
Kalau sudah begini, siapa yang
salah?
Ketambe sebenarnya merupakan nama
Kecamatan di Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh. Wilayahnya berbatasan langsung
dengan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), dan dikenal sebagai objek wisata
alam andalan di tenggara Aceh. Dari Medan, Sumatera Utara, jaraknya sekitar
tujuh jam perjalanan darat. Hutannya alami. Berbagai satwa hidup damai di sini
seperti burung, bajing, dan orangutan yang bergelantungan di pohon. Sungai Alas
nya juga cocok untuk arung jeram.
Hebatnya, semua hewan tersebut
masih hidup liar tanpa gangguan manusia. Saya sempat melihat tokek terbang,
beberapa serangga, bongkol bunga Raflesia, orangutan, babi hutan, dan beberapa
satwa endemic lainnya.
The living magic on earth begitulah
kata Udo, seorang turis penggemar hutan dari jerman. Alex gadis berambut pirang
yang berasal dari Swiss juga berpendapat sama. Menurutnya, dibandingkan hutan Kalimantan,
orangutan di Aceh begitu menakjubkan.
Kala badan letih tracking, kamu
juga bisa menikmati hangatnya pemandian air panas alami. Sumber air panas yang
muncul ditengah-tengah sungai, lalu bercampur dengan air sungai yang sejuk
menjadi sebuah oase tersendiri di tengah hutan Ketambe.
Tapi, semua itu, terancam punah
dan berubah fungsi. Tugas kita? Adalah menjaganya. Ada banyak cara untuk hal
tersebut. Hutan yang telah berhasil mengurangi pengangguran di desa seputar
hutan ini seolah menjadi bukti, kalau hutan dijaga, maka hutan dapat memberikan
manfaat langsung dan dalam jangka waktu yang lama.
Berikut ini, adalah video saya
wawancara dengan Awi, seorang wisatawan local dari Banda Aceh yang berkunjung
ke Ketambe. Pun, bersamaan dengan itu, saya juga sempat mewawancarai Udo (
wisatawan Jerman), Alex dari Swiss dan Rajab seoarang guide di Ketambe.
Post a Comment