Wednesday, May 10, 2017

Hutan Ketambe, Dulu Dan Nanti

Hutan Ketambe, Dulu Dan Nanti


leuserlestari.com--Problematika hutan wisata ketambe sepertinya tak akan pernah usai. Di satu sisi, masyarakat sekitar Hutan Ketambe, yang merupakan bagian dari kawasan Ekosistem Leuser, memilih mencoba mempertahankan keadaan hutan tetap lestari, disisi lain, perambahan hutan terus terjadi. 

Hutan yang semenjak puluhan tahun lalu telah menjadi salah satu tujuan wisata konservasi dan wisata penelitian orangutan, kini menjadi kritis. Alih fungsi hutan menjadi kebun masyarkat seolah tak terbendung. Bahkan, menurut seorang turis yang berasal dari jerman, tatkala tahun-tahun awal 2000 Ia ke ketambe, beberapa mamilia masih mudah dijumpai. Tapi kini? 

Orangutan, kambing gunung, dan kendih (Thomas leaf monkey) menjadi factor pemicu para peneliti dan wisatawan luar negeri mau menghabiskan banyak dana dan waktu untuk bisa ke kawasan hutan yang berada di provinsi Aceh. 
Kawasan Hutan Ketambe, setelah meredup kala konflik Aceh melanda selama lebih 34 tahun, kini perlahan kembali naik daun. Itu terjadi ketika Leonardo Di Caprio melakukan perjalanan wisata singkatnya ke hutan yang berada di kabupaten Aceh Tenggara ini. 

Sebenarnya, hutan ini, dapat menjadi contoh sebuah konsep bisnis yang baik dan ramah terhadap konservasi. Dimana, ia tetap menghasilkan pendapatan kepada masyarakat dan penyelenggara bisnis tanpa harus merusak hutan. Tak tanggung-tanggung, bila memasuki musim buah, maka bisa dipastikan seluruh penginapan di sepanjang jalan ketambe-Kutacane akan penuh pengunjung. 

Sebagian hutan memang terlihat masih begitu asri, tapi disisi lain, hutan mulai berubah menjadi kebun jagung. Tetap menghasilkan tapi merusak. Lalu, ketika para hewan predator mengejar mangsanya sampai ke kebun masyarakat, konflik satwa dengan manusia pun tak terelakkan. 

Kalau sudah begini, siapa yang salah?

Ketambe sebenarnya merupakan nama Kecamatan di Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh. Wilayahnya berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), dan dikenal sebagai objek wisata alam andalan di tenggara Aceh. Dari Medan, Sumatera Utara, jaraknya sekitar tujuh jam perjalanan darat. Hutannya alami. Berbagai satwa hidup damai di sini seperti burung, bajing, dan orangutan yang bergelantungan di pohon. Sungai Alas nya juga cocok untuk arung jeram.

Hebatnya, semua hewan tersebut masih hidup liar tanpa gangguan manusia. Saya sempat melihat tokek terbang, beberapa serangga, bongkol bunga Raflesia, orangutan, babi hutan, dan beberapa satwa endemic lainnya. 

The living magic on earth begitulah kata Udo, seorang turis penggemar hutan dari jerman. Alex gadis berambut pirang yang berasal dari Swiss juga berpendapat sama. Menurutnya, dibandingkan hutan Kalimantan, orangutan di Aceh begitu menakjubkan. 

Kala badan letih tracking, kamu juga bisa menikmati hangatnya pemandian air panas alami. Sumber air panas yang muncul ditengah-tengah sungai, lalu bercampur dengan air sungai yang sejuk menjadi sebuah oase tersendiri di tengah hutan Ketambe. 

Tapi, semua itu, terancam punah dan berubah fungsi. Tugas kita? Adalah menjaganya. Ada banyak cara untuk hal tersebut. Hutan yang telah berhasil mengurangi pengangguran di desa seputar hutan ini seolah menjadi bukti, kalau hutan dijaga, maka hutan dapat memberikan manfaat langsung dan dalam jangka waktu yang lama. 

Berikut ini, adalah video saya wawancara dengan Awi, seorang wisatawan local dari Banda Aceh yang berkunjung ke Ketambe. Pun, bersamaan dengan itu, saya juga sempat mewawancarai Udo ( wisatawan Jerman), Alex dari Swiss dan Rajab seoarang guide di Ketambe.
 



Post a Comment

Start typing and press Enter to search