“Sangat rugi jika seumur hidup tidak sekali pun melihat Leuser. Turis dari belahan dunia lain berkunjung ke Aceh menghirup udara bersih Leuser, kenapa orang Aceh dan Indonesia tidak tertarik,” kata Manager Forum Konservasi Leuser Rudi Putra, suatu sore pada awal April 2017 saat kami sedang menyesap kopi.
Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) memang harta karun bagi Indonesia. Hutan hujan seluas 2,63 juta hektar itu bukan hanya sebagai penopang hidup warga Aceh dan Sumatera Utara, melainkan penyedia udara bersih bagi masyarakat dunia. Namun sayangnya, paru-paru dunia itu kini kian merana.
Akhir April, sebuah pesan di layanan WhatsApp masuk. Intinya, Rudi mengajak saya menjelajahi Leuser selama seminggu pada 5-11 Mei 2017. Kesempatan untuk melihat langsung hutan terbesar di dunia itu tidak akan saya lewatkan.
Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) terbentang di 13 kabupaten di Aceh, yakni Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Subulussalam, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Utara, Aceh Timur, dan Aceh Tamiang. Juga di empat kabupaten di Sumatera Utara, yakni Langkat, Dairi, Karo, dan Deli Serdang.
Namun, lokasi terbaik untuk mengunjungi KEL adalah di Aceh Tenggara, tepatnya Desa Ketambe. Desa ini berbatasan langsung dengan TNGL. Tutupan hutan masih rapat dan disokong keindahan Sungai Alas menjadikan Ketambe sebagai lokasi terbaik untuk melihat Leuser.
Lima wartawan mengikuti field trip, yakni saya, Junaidi Hanafiah (Mongabay), Didik Ardiansyah (Kompas TV Biro Aceh), Al Amin (Harian Rakyat Aceh), dan Chaidier Mahyuddin (AFP).
Kami berangkat dari Banda Aceh melalui jalan darat. Perjalanan ke Aceh Tenggara melalui tiga jalur, yakni tengah, timur, dan barat. Kami memilih jalur tengah melewati Bireuen, Bener Meriah, Aceh Tengah, dan Gayo Lues. Jalur barat melewati Aceh Barat, Aceh Selatan, dan Subulussalam. Sementara jalur timur lewat Lhokseumawe dan Langkat, Sumatera Utara.
Perjalanan menghabiskan waktu sekitar 15 jam. Kami singgah sejenak di Aceh Tengah menyeruput kopi arabika gayo. Terlalu rugi melewati Gayo tanpa menyesap kopi terbaik di Indonesia.
Kami tiba di Desa Ketambe sekitar pukul 02.00 pagi. Menginap di sebuah guest house milik Johan Sahbuddin, yang berupa rumah panggung dari kayu. Dari teras kamar, terlihat lebat hutan yang meneduhkan pandangan mata.
Desa Ketambe layaknya desa wisata. Terdapat belasan rumah penginapan milik warga setempat. Turis asing banyak menginap di desa itu. Anak muda setempat umumnya menjadi pemandu wisata. Bahasa Inggris mereka bagus, yang dipelajarinya secara otodidak dari turis-turis.
Menyaksikan orangutan
Hari Sabtu, 6 Mei 2017, kami berkunjung ke Stasiun Riset Orangutan Ketambe. Stasiun penelitian orangutan tertua di dunia ini dibangun tahun 1971 oleh peneliti Belanda, Herman Drijksen. Namun, pada tahun 2001, saat konflik berkecamuk di Aceh, stasiun itu dibakar orang tak dikenal. Setelah damai, stasiun dibangun kembali sehingga penelitian kembali bergeliat.
Stasiun Ketambe kini dikelola Forum Konservasi Leuser dan Taman Nasional Gunung Leuser. Terdapat tiga bangunan, yakni penginapan bagi peneliti, ruang pertemuan, dan ruang makan.
Untuk mencapai stasiun itu, kami harus menyeberangi Sungai Alas. Lebar sungai sekitar 30 meter dengan arus yang deras. Kami naik sampan yang diikat ke seutas baja. Sampan inilah yang pernah dinaiki aktor Leonardo DiCaprio saat mengunjungi Leuser pada Maret 2016.
Setiba di stasiun itu, kami dijamu makan siang. Menunya ikan jurung, sejenis mujair, tetapi rasanya lebih manis. Ikan jurung Sungai Alas terkenal enak. ”Tapi sekarang semakin sukar didapat,” kata Ibrahim, ahli tanaman Leuser.
Kemudian, kami bersiap menyaksikan orangutan. Kami mulai berjalan memasuki hutan Leuser dengan seragam khusus, yakni baju lengan panjang, celana panjang, dan sepatu.
Baru 20 meter berjalan, lengan saya terasa gatal. Di balik lengan baju, saya menemukan seekor pacet sedang mengisap darah. Hari itu, setidaknya ada lima pacet yang menikmati darah segar saya.
Medan perjalanan menuju pohon orangutan berdiam sangat menanjak dan licin. Tegakan pohon sangat rapat sehingga membutuhkan kehati-hatian saat mendaki. Meski langit terlihat cerah, suasana di dalam hutan Leuser agak gelap karena cahaya matahari tidak mampu menerobos lebatnya dedaunan.
Cuaca terasa dingin. Rongga dada terasa segar saat menghirup udara Leuser dalam-dalam. Bagi orang Jakarta, dan kota besar lainnya di Indonesia, saya rasa udara Leuser sesuatu yang sangat berharga.
Sepanjang perjalanan, saya mendengar suara binatang dari dalam hutan seperti paduan suara yang tidak mengindahkan tangga nada tetapi memberikan kesan alami. Leuser jelas memberikan pengalaman baru bagi setiap orang yang menjelajahinya.
Dari kejauhan, suara orangutan mulai terdengar. Kami mempercepat langkah. Di atas pohon ara atau ficus tampak lima orangutan tengah berpesta. Pohon itu sedang berbuah, makanan lezat pun tersaji.
Menyaksikan orangutan liar di hutan alami memberi kesan berbeda dengan melihat orangutan di kebun binatang. Orangutan liar terlihat cekatan. Mereka melompat dari satu dahan ke dahan lainnya. Inilah rumah mereka sebenarnya.
Menurut Ibrahim, orangutan Leuser memiliki kecerdasan lebih tinggi daripada orangutan di Kalimantan. Dia pernah menyaksikan orangutan mengambil madu dengan patahan ranting. ”Dia seperti tahu makna keberlanjutan. Dengan menggunakan kayu, sarang madu tidak rusak sehingga ketersediaan madu terjamin,” kata Ibrahim.
”Mereka sudah seperti manusia, mungkin sesuai dengan nama, orangutan, orang yang hidup di hutan,” ujar Ibrahim sambil tertawa.
Stasiun Ketambe kini dikelola Forum Konservasi Leuser dan Taman Nasional Gunung Leuser. Terdapat tiga bangunan, yakni penginapan bagi peneliti, ruang pertemuan, dan ruang makan.
Untuk mencapai stasiun itu, kami harus menyeberangi Sungai Alas. Lebar sungai sekitar 30 meter dengan arus yang deras. Kami naik sampan yang diikat ke seutas baja. Sampan inilah yang pernah dinaiki aktor Leonardo DiCaprio saat mengunjungi Leuser pada Maret 2016.
Setiba di stasiun itu, kami dijamu makan siang. Menunya ikan jurung, sejenis mujair, tetapi rasanya lebih manis. Ikan jurung Sungai Alas terkenal enak. ”Tapi sekarang semakin sukar didapat,” kata Ibrahim, ahli tanaman Leuser.
Kemudian, kami bersiap menyaksikan orangutan. Kami mulai berjalan memasuki hutan Leuser dengan seragam khusus, yakni baju lengan panjang, celana panjang, dan sepatu.
Baru 20 meter berjalan, lengan saya terasa gatal. Di balik lengan baju, saya menemukan seekor pacet sedang mengisap darah. Hari itu, setidaknya ada lima pacet yang menikmati darah segar saya.
Medan perjalanan menuju pohon orangutan berdiam sangat menanjak dan licin. Tegakan pohon sangat rapat sehingga membutuhkan kehati-hatian saat mendaki. Meski langit terlihat cerah, suasana di dalam hutan Leuser agak gelap karena cahaya matahari tidak mampu menerobos lebatnya dedaunan.
Cuaca terasa dingin. Rongga dada terasa segar saat menghirup udara Leuser dalam-dalam. Bagi orang Jakarta, dan kota besar lainnya di Indonesia, saya rasa udara Leuser sesuatu yang sangat berharga.
Sepanjang perjalanan, saya mendengar suara binatang dari dalam hutan seperti paduan suara yang tidak mengindahkan tangga nada tetapi memberikan kesan alami. Leuser jelas memberikan pengalaman baru bagi setiap orang yang menjelajahinya.
Dari kejauhan, suara orangutan mulai terdengar. Kami mempercepat langkah. Di atas pohon ara atau ficus tampak lima orangutan tengah berpesta. Pohon itu sedang berbuah, makanan lezat pun tersaji.
Menyaksikan orangutan liar di hutan alami memberi kesan berbeda dengan melihat orangutan di kebun binatang. Orangutan liar terlihat cekatan. Mereka melompat dari satu dahan ke dahan lainnya. Inilah rumah mereka sebenarnya.
Menurut Ibrahim, orangutan Leuser memiliki kecerdasan lebih tinggi daripada orangutan di Kalimantan. Dia pernah menyaksikan orangutan mengambil madu dengan patahan ranting. ”Dia seperti tahu makna keberlanjutan. Dengan menggunakan kayu, sarang madu tidak rusak sehingga ketersediaan madu terjamin,” kata Ibrahim.
”Mereka sudah seperti manusia, mungkin sesuai dengan nama, orangutan, orang yang hidup di hutan,” ujar Ibrahim sambil tertawa.
Pandangan Memilukan
![]() |
foto by : Junaidi Hanafiah, Mongabay.co.id |
Malam itu kami menginap di Stasiun Riset Ketambe. Paginya, kami menengok kembali orangutan yang kami lihat sore kemarin. Sepertinya, mereka baru akan pindah setelah menghabiskan buah ficus.
Kami kemudian menuju Stasiun Riset Soraya, Kota Subulussalam. Di stasiun ini, banyak mahasiswa yang melakukan penelitian.
Untuk menjangkau stasiun itu, kami harus mengarungi Sungai Alas. Dari Desa Salim Pitit, Kecamatan Babur Rahmah, Aceh Tenggara, kami menumpang perahu kayu berukuran 12 meter x 1 meter yang dapat menampung 10 penumpang. Perjalanan membutuhkan waktu tiga jam.
Saya berharap selama mengarungi sungai, saya dapat menyaksikan pemandangan yang indah. Namun, ternyata di kiri dan kanan sungai itu terlihat hutan yang gundul. Perambahan hutan terjadi terang-terangan dengan asap sisa pembakaran kayu yang mengepul ke udara.
Di beberapa titik hutan yang pada tahun 1990-an lebat, kini menjadi kebun sawit, pisang, kakao, dan jagung. Warga terlihat tengah mengelola kebun. Perahu kayu hilir mudik mengangkut hasil kebun. Nasib Leuser terancam.
Warga Salim Pitit, Udara (45), pawang perahu, mengatakan, perambahan dilakukan orang lokal ataupun pendatang. Banyak pemodal yang membayar warga membuka lahan. Warga yang terdesak secara ekonomi seperti tidak berpikir panjang. Pohon-pohon pun ditebang.
”Kini, terasa lebih gersang dan panas. Jika tidak dihentikan perusakan hutan, Leuser bisa tinggal nama,” kata Udara, yang juga menjadi pemandu olahraga arung jeram. Akibat kerusakan hutan, air Sungai Alas tidak sejernih dulu.
Sungai Alas membentang dari Gayo Lues, Aceh Tenggara, Subulussalam, dan Aceh Singkil. Sungai primer ini selain menjadi penyedia air bagi manusia juga menjadi andalan olahraga arung jeram di Aceh Tenggara.
Udara sangat lihai mengendalikan perahu. Dia paham betul kondisi arus dan kedalaman sungai. Saat perahu melayang di atas ombak, dia terlihat santai. Menyusuri Sungai Alas memang membuat ketagihan.
Kami kemudian menuju Stasiun Riset Soraya, Kota Subulussalam. Di stasiun ini, banyak mahasiswa yang melakukan penelitian.
Untuk menjangkau stasiun itu, kami harus mengarungi Sungai Alas. Dari Desa Salim Pitit, Kecamatan Babur Rahmah, Aceh Tenggara, kami menumpang perahu kayu berukuran 12 meter x 1 meter yang dapat menampung 10 penumpang. Perjalanan membutuhkan waktu tiga jam.
Saya berharap selama mengarungi sungai, saya dapat menyaksikan pemandangan yang indah. Namun, ternyata di kiri dan kanan sungai itu terlihat hutan yang gundul. Perambahan hutan terjadi terang-terangan dengan asap sisa pembakaran kayu yang mengepul ke udara.
Di beberapa titik hutan yang pada tahun 1990-an lebat, kini menjadi kebun sawit, pisang, kakao, dan jagung. Warga terlihat tengah mengelola kebun. Perahu kayu hilir mudik mengangkut hasil kebun. Nasib Leuser terancam.
Warga Salim Pitit, Udara (45), pawang perahu, mengatakan, perambahan dilakukan orang lokal ataupun pendatang. Banyak pemodal yang membayar warga membuka lahan. Warga yang terdesak secara ekonomi seperti tidak berpikir panjang. Pohon-pohon pun ditebang.
”Kini, terasa lebih gersang dan panas. Jika tidak dihentikan perusakan hutan, Leuser bisa tinggal nama,” kata Udara, yang juga menjadi pemandu olahraga arung jeram. Akibat kerusakan hutan, air Sungai Alas tidak sejernih dulu.
Sungai Alas membentang dari Gayo Lues, Aceh Tenggara, Subulussalam, dan Aceh Singkil. Sungai primer ini selain menjadi penyedia air bagi manusia juga menjadi andalan olahraga arung jeram di Aceh Tenggara.
Udara sangat lihai mengendalikan perahu. Dia paham betul kondisi arus dan kedalaman sungai. Saat perahu melayang di atas ombak, dia terlihat santai. Menyusuri Sungai Alas memang membuat ketagihan.
Ikut patroli
![]() |
Foto by : Junaidi Hanafiah, Mongabay.co.id |
Perahu memasuki muara menuju Stasiun Riset Soraya. Stasiun ini berkontruksi kayu, di atas tebing dengan ketinggian sekitar 100 meter dari anak sungai tempat perahu ditambat.
Namun, suasana alam di stasiun riset ini sangat indah. Di sebelah barat, terdapat satu anak sungai dengan air jernih dan dingin. Kami selalu mandi di sungai itu. Tak jauh dari sana terdapat air terjun dengan ketinggian 50 meter. Air terjun yang masih alami.
Memasuki stasiun, sinyal telepon lenyap. Hubungan dengan dunia luar benar-benar terputus. Kami memiliki waktu untuk berdiskusi lebih lama dengan anggota FKL dan pengurus stasiun tanpa disela dering telepon. Kedekatan terasa terjalin lebih kuat.
Malam hari, penerangan menggunakan genset. Sementara kebutuhan logistik dipasok setiap minggu melalui sungai. Kami memasang hammock di antara pohon kayu. Tidur diiringi nyanyian siamang, serangga, dan burung kuau.
Kami di Stasiun Riset Soraya untuk mengikuti patroli rutin anggota ranger FKL. Petugas ranger merupakan satuan penyelamat satwa liar dan hutan Leuser. Mereka berjumlah 250 orang. Setiap kelompok beranggotakan 4-5 orang.
Anggota ranger direkrut FKL dari beragam latar belakang, seperti mahasiswa, petani, aktivis lingkungan, mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka, dan mantan pemburu satwa liar. Sebelum terjun ke lapangan, mereka digembleng dengan materi konservasi.
Setiap bulan, selama 15 hari mereka patroli ke hutan Leuser untuk mencegah perburuan satwa liar ataupun perambahan hutan. Hari itu, kami akan ikut patroli walau hanya sehari bukan 15 hari.
Selama 15 hari di dalam hutan lebat tentu bukan pekerjaan mudah. Mereka meninggalkan keluarga, dan terus-menerus dirayu godaan dunia untuk tidak melindungi hutan. Pekerjaan mereka jelas adalah panggilan hati.
Kami berjalan menyusuri hutan dengan mengandalkan GPS dan kompas. Jalan berliku-liku, menanjak terjal dan menurun tajam dilalui. Saya tidak tahu berapa kilometer jarak yang kami tempuh. Namun, lutut terasa letih setelah berjalan dari pukul 08.00 hingga pukul 16.00.
Di tengah hutan, kami sempat makan siang dengan menu mi instan dan telur dadar. Menu makan siang yang terasa lebih nikmat dibandingkan menu di restoran. Saat perjalanan pulang, ketika bekal air minum habis, saya minum air sungai yang terasa lebih segar dari air mineral kemasan. Ternyata, alam memberikan apa yang kita butuhkan.
Dari patroli pada hari itu, kami berhasil menemukan dua jerat harimau dan satu jerat gajah. Jerat itu kami bongkar, dan bajanya kami bawa pulang.
Sepanjang tahun 2016, Forum Konservasi Leuser menemukan 1.534 kasus perambahan hutan dengan perkiraan kayu yang ditebang mencapai 3.665 meter kubik. Luas kawasan yang dirambah diperkirakan 9.143 hektar.
Berdasarkan pemantauan, terjadi 300 kegiatan pembangunan di dalam Kawasan Ekosistem Leuser. Diperkirakan ada 561,75 kilometer jalan yang dibangun di dalam kawasan.
FKL juga menemukan 300 jerat yang dipasang di dalam Kawasan Ekosistem Leuser dalam kasus perburuan satwa.
Hari Rabu, 10 Mei 2017, kami bergerak ke Conservation Response Unit (CRU) Trumon, Aceh Selatan. CRU merupakan pusat mitigasi konflik gajah liar.
Di sana, kami disambut Intan, bayi gajah berusia 4 empat bulan. Intan terlihat lincah dan genit. Saat moncong kamera mengarah padanya, dia seolah menjulurkan belalai memasang gaya pose terbaik.
Ketika sore tiba, banyak warga sekitar yang berkunjung ke CRU untuk bermain dengan gajah. Saya melihat betul warga di sana memiliki ikatan emosi yang kuat dengan hewan lindung itu.
Leuser memang memiliki segalanya, mulai dari keindahan hutan, air terjun, sungai, satwa, hingga tanaman. Leuser juga pantas dipertahankan. Apalagi, setelah tiba di Leuser, saya mengamini kata-kata Rudi Putra, ”Sempatkan berkunjung ke Leuser meski sekali seumur hidup….”
Memasuki stasiun, sinyal telepon lenyap. Hubungan dengan dunia luar benar-benar terputus. Kami memiliki waktu untuk berdiskusi lebih lama dengan anggota FKL dan pengurus stasiun tanpa disela dering telepon. Kedekatan terasa terjalin lebih kuat.
Malam hari, penerangan menggunakan genset. Sementara kebutuhan logistik dipasok setiap minggu melalui sungai. Kami memasang hammock di antara pohon kayu. Tidur diiringi nyanyian siamang, serangga, dan burung kuau.
Kami di Stasiun Riset Soraya untuk mengikuti patroli rutin anggota ranger FKL. Petugas ranger merupakan satuan penyelamat satwa liar dan hutan Leuser. Mereka berjumlah 250 orang. Setiap kelompok beranggotakan 4-5 orang.
Anggota ranger direkrut FKL dari beragam latar belakang, seperti mahasiswa, petani, aktivis lingkungan, mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka, dan mantan pemburu satwa liar. Sebelum terjun ke lapangan, mereka digembleng dengan materi konservasi.
Setiap bulan, selama 15 hari mereka patroli ke hutan Leuser untuk mencegah perburuan satwa liar ataupun perambahan hutan. Hari itu, kami akan ikut patroli walau hanya sehari bukan 15 hari.
Selama 15 hari di dalam hutan lebat tentu bukan pekerjaan mudah. Mereka meninggalkan keluarga, dan terus-menerus dirayu godaan dunia untuk tidak melindungi hutan. Pekerjaan mereka jelas adalah panggilan hati.
Kami berjalan menyusuri hutan dengan mengandalkan GPS dan kompas. Jalan berliku-liku, menanjak terjal dan menurun tajam dilalui. Saya tidak tahu berapa kilometer jarak yang kami tempuh. Namun, lutut terasa letih setelah berjalan dari pukul 08.00 hingga pukul 16.00.
Di tengah hutan, kami sempat makan siang dengan menu mi instan dan telur dadar. Menu makan siang yang terasa lebih nikmat dibandingkan menu di restoran. Saat perjalanan pulang, ketika bekal air minum habis, saya minum air sungai yang terasa lebih segar dari air mineral kemasan. Ternyata, alam memberikan apa yang kita butuhkan.
Dari patroli pada hari itu, kami berhasil menemukan dua jerat harimau dan satu jerat gajah. Jerat itu kami bongkar, dan bajanya kami bawa pulang.
Sepanjang tahun 2016, Forum Konservasi Leuser menemukan 1.534 kasus perambahan hutan dengan perkiraan kayu yang ditebang mencapai 3.665 meter kubik. Luas kawasan yang dirambah diperkirakan 9.143 hektar.
Berdasarkan pemantauan, terjadi 300 kegiatan pembangunan di dalam Kawasan Ekosistem Leuser. Diperkirakan ada 561,75 kilometer jalan yang dibangun di dalam kawasan.
FKL juga menemukan 300 jerat yang dipasang di dalam Kawasan Ekosistem Leuser dalam kasus perburuan satwa.
Hari Rabu, 10 Mei 2017, kami bergerak ke Conservation Response Unit (CRU) Trumon, Aceh Selatan. CRU merupakan pusat mitigasi konflik gajah liar.
Di sana, kami disambut Intan, bayi gajah berusia 4 empat bulan. Intan terlihat lincah dan genit. Saat moncong kamera mengarah padanya, dia seolah menjulurkan belalai memasang gaya pose terbaik.
Ketika sore tiba, banyak warga sekitar yang berkunjung ke CRU untuk bermain dengan gajah. Saya melihat betul warga di sana memiliki ikatan emosi yang kuat dengan hewan lindung itu.
Leuser memang memiliki segalanya, mulai dari keindahan hutan, air terjun, sungai, satwa, hingga tanaman. Leuser juga pantas dipertahankan. Apalagi, setelah tiba di Leuser, saya mengamini kata-kata Rudi Putra, ”Sempatkan berkunjung ke Leuser meski sekali seumur hidup….”
Zulkarnaini
15 Juni 2017
Sumber: Di Sini
Wah keren, suasana di dalam leuser memang luar biasa.
ReplyDelete