Sial! Kenapa pula
saya harus menenteng laptop, dan perlengkapan online lainnya. Padahal, Erul, pemuda asli Gayo Lues yang
berambut
gondrong ini,
sudah mengingatkan kalau kami akan
masuk ke
kawasan kaki gunung Leuser. Listrik dan sinyal handphone
adalah hal yang tabu. Dan saya
bawa laptop?
Dasar saya, sok
menyandang gelar travel blogger sejati. Berusaha online dan live report dari tempat tujuan. Akhirnya
malah menyusahkan diri sendiri. Jalanan setapak, menanjak, mendaki, turun naik,
tak henti-henti
sepanjang 30 menit dari tempat terakhir diturunkan oleh teman yang mengantar.
Erul, hanya
tersenyum. Sesekali ia mengambil gambar. Sesekali ia terkekeh dan mencoba
berusaha basa basi membantu. Saya masih dengan ego kesombongan seorang yang
mengaku blogger jalan jalan tetap memikul laptop dan tas carrier yang beratnya
bikin encok tak tahu diri.
Napas kuda mulai
keluar. Mata berkunang-kunang. Kacamata serasa punya berat sampai 5 kilogram. Terserah! Mau
dibilang lebay atau tidak. Tapi
dengkul ini rasanya ingin di peluk manja. Nyeri sampai ke ubun-ubun. Malu, gengsi,
capek, dan terlanjur terjulur lidah. Tak mungkin langkah berhenti di sini. Bismillah. Langkah saya teruskan. Seumur
hidup belum pernah tidur di hutan. Kaki Leuser pula lagi! Paling tidak, once in a live time.
Sabar yudi. Kamu
akan tidur di hutan yang merupakan hutan warisan dunia! Tempat di mana ekosistemnya
diakui dunia. Merek boleh Aceh, tapi hutan ini mendunia. Saya mencoba
meyakinkan diri. Perlahan suara deru sungai semakin kencang. Rintik hujan mulai turun dari
selah-selah dedaunan hutan. Sesekali terdengar rangkong menyanyi. Sesekali,
ciutan tupai menghiasi. Lalu akhirnya, hamparan taman bunga... Berwarna merah
cerah menyambut derap langkah kaki saya.
Rainforest Logde, |
Malam itu, saya tidur
bermandikan cahaya bulan. Malam itu, tubuh ini akan diperkosa oleh lembutnya kabut gunung. Mewujudkan kembali misi masa kecil untuk
melihat kunang-kunang kawin. Lama nian sudah, di kota kecil saya tak ada lagi
kunang-kunang. Lampu neon menghiasi hampir rata sudut kota, bahkan sebagian
areal kuburan pun kini sudah berlampu. Bagaimana mungkin sang kunang-kunang
hendak menemukan pasangan hidupnya? Kini, menurut saya, keindahan lampu dari
tubuh kunang-kunang sudah mahal harganya. Ya, cukup mahal sampai saya harus
bela-bela berjalan masuk ke hutan.
Sesuatu yang dahulu
tak pernah saya inginkan. Saat
ini, telah menjadi sesuatu yang begitu dinikmati. Jalanan
setapak, kiri kanan terhampar bunga-bunga liar yang berwarna merah hati. Pepohonan yang rindang dan
berumur puluhan tahun berdiri tegak. Memanyungi penginapan dari langit malam.
Nah, logde inilah
adalah pintu persinggahan untuk naik ke puncak Leuser. Perjalanan hebat menuju
sebuah Puncak Tanpa Nama bermula
dari peginapan sederhana ini, dengan nuansa yang tak terbayarkan.
Malam turun
perlahan, aroma mie instan, bercampur telur rebus dan nasi matang menggoda iman
untuk segera
menyantapnya tanpa ampun. Entah mengapa, makanan sederhana ini terasa begitu nikmat. Mungkin karena rasa dingin
dan sejuk pelan pelan mulai merangkul manja dari punggung gunung. Sepertinya,
bulan madu di sini akan berkesan kali ya? #eh.
Kunang-kunang mulai menampakkan diri. Sesekali ia berkerlip mencari
kekasih hati. Tak jarang, terdengar suara burung hantu dari kenopi hutan. Atau pekikan
hewan malam lainnya. Suasana menjadi begitu syahdu. Tak ada dering handphone, tak
ada suara bising gossip di televisi. Segalanya begitu alami. Merengkuh dalam
dinginnya kabut malam.
Saya tercenung dalam sinar temaram rembulan. Mensyukuri keadaan di mana,
akhirnya, saya bisa mengatakan kepada khalayak ramai, bahwa bisnis tak
selamanya harus membunuh hutan. Bisnis, tak harus memutilasi konservasi. Inilah
dia, salah satu bukti dimana Bisnis, dan Konservasi menjadi satu kesatuan dalam
bingkaian pariwisata.
Tanpa resort yang mewah, tanpa air panas dari kran chrome mahal, tetap saja, para pendaki dari luar negeri serta para
peneliti datang ke desa Kedah ini. Hanya untuk, mendengar hewan-hewan hutan
bernyanyi. Lalu kamu? [YR]
menuju lokasi |
Wah baru tahu kalau di pintu rimba leuser ada penginapannya. Itu permalam berapa? Pengen juga kesana sesekali
ReplyDeletekamar saja 100 ribu bang Monza. beda dengan biaya makan :)
Delete