Friday, April 7, 2017

Bermalam Di Pintu Pendakian Gunung Leuser.

pesona Hutan Leuser


Sial! Kenapa pula saya harus menenteng laptop, dan perlengkapan online lainnya. Padahal, Erul, pemuda asli Gayo Lues yang berambut gondrong ini, sudah mengingatkan kalau kami akan masuk ke kawasan kaki gunung Leuser. Listrik dan sinyal handphone adalah hal yang tabu. Dan saya bawa laptop? 

Dasar saya, sok menyandang gelar travel blogger sejati. Berusaha online dan live report dari tempat tujuan. Akhirnya malah menyusahkan diri sendiri. Jalanan setapak, menanjak, mendaki, turun naik, tak henti-henti sepanjang 30 menit dari tempat terakhir diturunkan oleh teman yang mengantar. 

Erul, hanya tersenyum. Sesekali ia mengambil gambar. Sesekali ia terkekeh dan mencoba berusaha basa basi membantu. Saya masih dengan ego kesombongan seorang yang mengaku blogger jalan jalan tetap memikul laptop dan tas carrier yang beratnya bikin encok tak tahu diri. 
pesona Hutan Leuser
Sok jadi blogger travelling..rasain!
Napas kuda mulai keluar. Mata berkunang-kunang. Kacamata serasa punya berat sampai 5 kilogram. Terserah! Mau dibilang lebay atau tidak. Tapi dengkul ini rasanya ingin di peluk manja. Nyeri sampai ke ubun-ubun. Malu, gengsi, capek, dan terlanjur terjulur lidah. Tak mungkin langkah berhenti di sini. Bismillah. Langkah saya teruskan. Seumur hidup belum pernah tidur di hutan. Kaki Leuser pula lagi! Paling tidak, once in a live time. 

Sabar yudi. Kamu akan tidur di hutan yang merupakan hutan warisan dunia! Tempat di mana ekosistemnya diakui dunia. Merek boleh Aceh, tapi hutan ini mendunia. Saya mencoba meyakinkan diri. Perlahan suara deru sungai semakin kencang. Rintik hujan mulai turun dari selah-selah dedaunan hutan. Sesekali terdengar rangkong menyanyi. Sesekali, ciutan tupai menghiasi. Lalu akhirnya, hamparan taman bunga... Berwarna merah cerah menyambut derap langkah kaki saya. 
pesona Hutan Leuser
Rainforest Logde,
Seketika, ada rasa takjub menyeruak dalam dada. Bahagia, senang, dan bersyukur sejadi-jadinya. Mungkin saya bisa dikatakan seperti Ivan Dimas yang selalu sujud syukur saat berhasil membobol gawang lawan. Tapi Saya, bersujud syukur karena daerahnya sudah datar dan sudah tiba di penginapan. Kesengsaraan berakhir seketika. Disambut dengan wajah sumringah dan segelas air minum yang langsung di ambil dari sungai. 

pesona Hutan Leuser
taman bunga di penginapan kawasan kedah, gayo lues
Malam itu, saya tidur bermandikan cahaya bulan. Malam itu, tubuh ini akan diperkosa oleh lembutnya kabut gunung. Mewujudkan kembali misi masa kecil untuk melihat kunang-kunang kawin. Lama nian sudah, di kota kecil saya tak ada lagi kunang-kunang. Lampu neon menghiasi hampir rata sudut kota, bahkan sebagian areal kuburan pun kini sudah berlampu. Bagaimana mungkin sang kunang-kunang hendak menemukan pasangan hidupnya? Kini, menurut saya, keindahan lampu dari tubuh kunang-kunang sudah mahal harganya. Ya, cukup mahal sampai saya harus bela-bela berjalan masuk ke hutan. 

Sesuatu yang dahulu tak pernah saya inginkan. Saat ini, telah menjadi sesuatu yang begitu dinikmati. Jalanan setapak, kiri kanan terhampar bunga-bunga liar yang berwarna merah hati. Pepohonan yang rindang dan berumur puluhan tahun berdiri tegak. Memanyungi penginapan dari langit malam. 

Penginapan ini sebenarnya tidak diperuntukkan untuk orang lokal. Tapi lebih kepada para turis atau para pendaki. Terutama yang mancanegara. Lho kok? Iya, karena begitu tingginya animo wisatawan mancanegara untuk naik ke puncak Leuser, sedangkan masyarakat Aceh sendiri terkesan acuh tak acuh. Beberapa pendaki dari luar provinsi juga bisa dikatakan sangat jarang. Sehingga, walaupun tempat ini begitu indah, sayang, hanya orang Luar Negeri yang menikmati. Nasibnya tak jauh beda dengan Desa Ketambe yang berada di kabupaten Aceh Tenggara. 

pesona Hutan Leuser
yang bikin keren itu, ini bunganya tumbuh merata
Nah, logde inilah adalah pintu persinggahan untuk naik ke puncak Leuser. Perjalanan hebat menuju sebuah Puncak Tanpa Nama bermula dari peginapan sederhana ini, dengan nuansa yang tak terbayarkan. 

Malam turun perlahan, aroma mie instan, bercampur telur rebus dan nasi matang menggoda iman untuk segera menyantapnya tanpa ampun. Entah mengapa, makanan sederhana ini terasa begitu nikmat. Mungkin karena rasa dingin dan sejuk pelan pelan mulai merangkul manja dari punggung gunung. Sepertinya, bulan madu di sini akan berkesan kali ya? #eh.

Kunang-kunang mulai menampakkan diri. Sesekali ia berkerlip mencari kekasih hati. Tak jarang, terdengar suara burung hantu dari kenopi hutan. Atau pekikan hewan malam lainnya. Suasana menjadi begitu syahdu. Tak ada dering handphone, tak ada suara bising gossip di televisi. Segalanya begitu alami. Merengkuh dalam dinginnya kabut malam.
pesona Hutan Leuser
kumbang, bukan kunang-kunang
Saya tercenung dalam sinar temaram rembulan. Mensyukuri keadaan di mana, akhirnya, saya bisa mengatakan kepada khalayak ramai, bahwa bisnis tak selamanya harus membunuh hutan. Bisnis, tak harus memutilasi konservasi. Inilah dia, salah satu bukti dimana Bisnis, dan Konservasi menjadi satu kesatuan dalam bingkaian pariwisata. 

Tanpa resort yang mewah, tanpa air panas dari kran chrome mahal, tetap saja, para pendaki dari luar negeri serta para peneliti datang ke desa Kedah ini. Hanya untuk, mendengar hewan-hewan hutan bernyanyi. Lalu kamu? [YR]

Pesona Hutan Lues
menuju lokasi
pesona Hutan Leuser

Video Taman Bunga Di Kaki Gunung Leuser

 

  1. Wah baru tahu kalau di pintu rimba leuser ada penginapannya. Itu permalam berapa? Pengen juga kesana sesekali

    ReplyDelete
    Replies
    1. kamar saja 100 ribu bang Monza. beda dengan biaya makan :)

      Delete

Start typing and press Enter to search